Blog

Satu Keputusan Kecil yang Mengubah Seluruh Hidupku

Sudah setahun sejak aku lulus. Kini aku tinggal di negara asing, bekerja di perusahaan teknologi global yang dulu hanya bisa kulihat di berita. Tapi di balik pencapaian ini, masih ada ruang kosong yang tak sepenuhnya bisa kuisi.

Setiap malam, aku duduk di dekat jendela apartemen kecilku, memandangi langit kota yang tak pernah benar-benar gelap. Lampu-lampu gedung tinggi berpendar seperti bintang buatan. Dan saat itulah, aku sering kembali pada satu pertanyaan:

“Apa benar aku bahagia?”

Kenangan yang Masih Menghantui

Mereka bilang waktu menyembuhkan segalanya. Tapi waktu tak pernah benar-benar menghapus luka. Ia hanya mengajari kita cara berjalan sambil berdarah-darah.mg 4d

Kadang, aku masih bermimpi tentang rumah tua kami di pinggiran kota. Suara ibu menggoreng bakwan. Teriakan ayah memanggil dari luar. Dan… Vira.

Ya, dia.

Walaupun aku bilang aku sudah memaafkannya, tapi kenyataannya… ada bagian dari diriku yang belum berdamai.

Bukan karena dia memilih orang lain. Tapi karena aku merasa… ditinggalkan saat aku sedang tenggelam.

Satu Surat dari Rumah

Suatu malam, aku menerima email dari adik perempuanku, Dita. Dia kirim foto ibu dan ayah sedang duduk di teras rumah baru kami. Ibu mengenakan mukena, wajahnya tenang. Ayah memegang segelas kopi, tersenyum ke kamera.

Tapi ada satu kalimat di bawah foto yang membuatku terdiam lama:

“Mereka sering bilang, Kak Raka adalah mukjizat yang kami doakan setiap malam.”

Air mataku jatuh begitu saja.

Selama ini aku terlalu sibuk mengejar pencapaian, membuktikan diri, hingga lupa bahwa alasan aku berjuang bukan untuk membalas masa lalu… tapi untuk membahagiakan mereka.

Kembali ke Tanah Air

Aku pulang diam-diam. Tidak bilang ke siapa-siapa. Aku ingin kejutan. Saat turun dari pesawat dan menghirup udara panas khas tropis, aku merasa seperti kembali jadi Raka 10 tahun lalu—anak laki-laki dengan mimpi yang masih setengah jadi.

Sampai di rumah, ibu sedang menyapu halaman. Dia sempat kaget, lalu menjatuhkan sapunya dan memelukku erat.

“Kamu makin kurus, Nak,” katanya sambil menahan tangis.

Ayah keluar, terdiam, lalu menepuk pundakku seperti biasa. “Kamu bikin kami bangga, Ka.”

Pertemuan Terakhir

Saat di kota, aku tak sengaja bertemu Vira lagi. Kali ini, dia sendirian. Tak ada mobil mewah. Tak ada riasan mencolok. Dia tampak lebih sederhana… dan lebih manusiawi.

“Kamu berubah,” katanya sambil tersenyum.

“Aku cuma belajar berdiri sendiri,” jawabku.

Dia menunduk. “Aku kehilangan banyak hal, Rak. Tapi yang paling aku sesali… adalah kehilangan kamu.”

Aku menatapnya lama. Dahulu, kalimat itu mungkin bisa mengubah segalanya. Tapi kini… aku tak butuh lagi pengakuan. Aku sudah cukup.

“Aku juga pernah kehilangan, Vir. Tapi kalau nggak kehilangan, aku nggak akan nemuin diriku yang sekarang.”

Dia menahan tangis. Tapi aku hanya tersenyum, mengangguk pelan, dan pergi.

Menjadi Pelita untuk yang Lain

Kini aku tak hanya bekerja. Aku membangun beasiswa untuk anak-anak seperti aku dulu—yang hampir putus sekolah karena kemiskinan. Aku menamai program itu: “Satu Raka untuk Seribu Mimpi.”

Setiap kali aku melihat anak-anak itu belajar, aku teringat diriku. Duduk di pojokan kelas, lapar, tapi tetap mencatat. Menangis diam-diam, tapi tetap mengangkat tangan ketika guru bertanya.

Aku ingin mereka tahu, bahwa kesedihan bukan akhir. Keterpurukan bukan kutukan. Tapi proses. Dan mereka tidak sendiri.

Penutup

Dalam hidup, kita akan sering disakiti oleh orang yang kita percayai. Kita akan jatuh, ditinggalkan, diremehkan. Tapi bukan tentang siapa yang melukai kita… melainkan tentang siapa yang kita pilih untuk jadi, setelah semua luka itu.

Aku, Raka, anak sopir angkot dan penjual gorengan, pernah jatuh sangat dalam. Tapi kini aku tahu:
Luka tidak membuatku lemah. Luka membentuk sayapku.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts